Kondisi kamp pengungsi di Atmah yang kini hanya menyisakan sekitar 10 keluarga dari 385 sebelumnya menimbulkan banyak pertanyaan. Mengapa situasi itu bisa terjadi, dan mengapa kamp dibiarkan begitu saja tanpa ada manajemen estafet yang jelas? Pertanyaan ini penting, karena masa depan para pengungsi bergantung pada kelancaran proses transisi.
Kamp yang dulunya menjadi tempat perlindungan ribuan orang kini tampak seperti kota mati. Dinding runtuh, tenda koyak, dan jalanan lengang menyisakan kesedihan mendalam. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah tidak adanya pola pengelolaan yang berkelanjutan ketika sebagian besar penghuni memilih kembali ke desa atau pindah ke kamp lain.
Dalam situasi ideal, ketika ada penghuni yang pulang, seharusnya pengelolaan kamp bisa diteruskan kepada pengungsi yang masih tinggal. Estafet tanggung jawab ini penting agar sisa keluarga tidak merasa terabaikan. Dengan adanya sistem semacam itu, kamp tidak akan terjerumus dalam kesan terbengkalai.
Sayangnya, indikasi bahwa estafet pengelolaan ini tidak berjalan tampak jelas. Mereka yang kembali ke kampung halaman tidak lagi memiliki peran setelah meninggalkan kamp, sementara yang tersisa dibiarkan mencari jalan sendiri. Hal ini memperburuk perasaan keterasingan yang sudah berat dirasakan oleh para pengungsi.
Padahal, koordinasi sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah. Misalnya, pengurus kamp yang lama menyerahkan tanggung jawab kepada keluarga lain yang masih bertahan. Proses ini bisa berjalan secara berkesinambungan sampai semua penghuni kembali atau pindah ke kamp lain yang lebih layak.
Koordinasi dengan desa atau baladiyah setempat juga mestinya menjadi bagian dari mekanisme transisi. Meskipun tidak semua pemulangan pengungsi difasilitasi negara, langkah minimal berupa pemberitahuan dan pengaturan administrasi bisa membantu memastikan kamp tidak kosong tanpa pengurus.
Minimnya perhatian terhadap manajemen transisi ini menimbulkan pertanyaan lebih besar: apakah pemerintahan sementara tidak mengatur hal-hal krusial semacam itu? Jika memang ada celah dalam regulasi, maka wajar jika banyak kamp yang ditinggalkan akhirnya berubah menjadi lahan terbengkalai.
Sementara itu, keluarga yang tersisa menghadapi realitas pahit. Mereka hidup di tengah kamp yang sepi, harus menempuh jarak jauh hanya untuk membeli roti, dan tidak bisa keluar rumah dengan bebas setelah malam tiba. Tanpa sistem manajemen yang berfungsi, mereka hanya bisa mengandalkan diri sendiri.
Kondisi ini sebenarnya bisa dicegah bila ada kesadaran kolektif bahwa pengelolaan kamp bukan hanya tugas satu pihak. Sebaliknya, ia merupakan tanggung jawab bersama, baik oleh pengungsi itu sendiri, komunitas sekitar, maupun otoritas yang berwenang.
Meski begitu, harapan tetap ada. Sisa penghuni bisa memilih untuk pindah ke kamp lain yang masih ramai dan memiliki tenda utuh. Di sana, mereka akan mendapatkan komunitas baru, rasa aman, dan akses yang lebih baik terhadap kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, kamp yang ditinggalkan tidak harus menjadi beban. Dengan sedikit kreativitas, lahan yang tersisa bisa dimanfaatkan untuk berkebun. Blok-blok bata yang ditinggalkan bisa disusun menjadi petak tanam sederhana, menjadikan reruntuhan sebagai awal kehidupan baru.
Pemanfaatan kamp kosong untuk pertanian juga bisa mengurangi kesan muram yang selama ini melekat. Alih-alih membiarkannya sebagai simbol kegagalan, kamp bisa bertransformasi menjadi ruang produktif yang memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat sekitar.
Namun, keberhasilan langkah ini tetap membutuhkan dukungan. Organisasi kemanusiaan dan pemerintahan lokal harus hadir untuk membantu mengatur proses transisi. Jika tidak, risiko pengabaian akan terus menghantui keluarga-keluarga kecil yang tersisa.
Manajemen estafet sesungguhnya bukan hal baru dalam konteks pengungsi. Di banyak negara, transisi pengelolaan dilakukan secara bertahap sehingga tidak ada kamp yang benar-benar kosong tanpa penanggung jawab. Praktik semacam ini bisa diadopsi di Suriah agar situasi serupa tidak terulang.
Lebih jauh lagi, regulasi yang jelas dari pemerintahan sementara sangat diperlukan. Tanpa aturan resmi, koordinasi hanya akan bergantung pada inisiatif individu. Padahal, pengungsi adalah kelompok yang paling rentan dan membutuhkan payung perlindungan yang terstruktur.
Jika mekanisme ini berjalan, setiap kepulangan atau perpindahan pengungsi bisa dilakukan dengan tenang. Mereka yang pergi tidak meninggalkan kekosongan, sementara yang bertahan tetap memiliki pegangan untuk melanjutkan hidup di kamp.
Situasi Atmah seharusnya menjadi pelajaran berharga. Ia menunjukkan betapa pentingnya tata kelola pengungsian yang berkelanjutan. Tanpa manajemen estafet, kamp mudah berubah menjadi ruang kosong yang menambah luka psikologis bagi para penyintas.
Kini, sisa penghuni harus memandang ke depan dengan optimisme. Mereka punya pilihan: pindah ke kamp yang lebih ramai atau memanfaatkan lahan kosong sebagai sumber kehidupan baru. Kedua langkah ini sama-sama bisa menjadi simbol kebangkitan.
Pada akhirnya, jawaban dari persoalan ini ada pada keberanian untuk memperbaiki sistem. Dengan estafet pengelolaan yang jelas dan dukungan dari berbagai pihak, kamp pengungsi tak lagi akan meninggalkan kisah muram, melainkan harapan akan masa depan yang lebih cerah.
Dari kekosongan yang menyedihkan, sejatinya bisa lahir tatanan baru yang lebih baik. Dengan manajemen transisi yang teratur, pengungsi tidak hanya bertahan, tetapi juga bisa bangkit kembali menuju kehidupan yang lebih layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar